Adalah hal yang lumrah apabila seorang politisi mengeksploitasi ideal dan sentimen tertentu demi mengikat emosi massa ke dalam jaring pengaruh dan stabilitas popularitasnya lewat pidato yang menyerukan persatuan perjuangan. Bahkan ketika teks politik tersebut diblejeti dengan pisau analisis tertentu lantas ditemukan pertentangan ide, asal-usul istilah, dan historical context di dalamnya--atau dengan kata lain, teks bergelora yang ternyata mengumbar kekosongan--toh ia berhak menampilkan diri sebagai keniscayaan demokratis. Sebagai warga biasa di tipudaya pemilu, biar kita mikiiir!
Tentang teks pidato politik gubernur baru DKI Jakarta yang ramai sebab penggunaan istilah pribumi, jika kita meluaskan sumber-sumber perspektif, mungkin boleh membantu menemukan sedikit retakan konseptual. Paling kurang, memberikan tanda tanya besar terhadap seruan pidato dan terhadap cara pandang kita sendiri yang barangkali terlalu dalam berkubang polarisasi.
Saya akan meminjam dua sumber/tulisan untuk menunjukkan retak konseptual dimaksud. Tulisan yang berasal dari Zen RS dan Anto Sangadji. Atau, dari sudut amatiran, bisa dikatakan tulisan ini hanyalah catatan kaki kepada mereka.
Zen dalam tulisan berjudul Pribumi Monyet dan Paradoks Kepribumiandengan sangat tajam menunjukkan jika konsep pribumi beribukandung prasangka-prasangka kolonial. Prasangka-prasangka yang menyelinap kedalam laporan-laporan resmi, catatan perjalanan, karya sastra, bahkan laporan-laporan antropologis tentang bangsa penghuni tanah jajahan.
Prasangka kolonial ini berpusat pada pembedaan antara mereka yang beradab dan tidak (the Civilized vs the Uncivilized). Seperasi beradab dan tidak beradab ini tentu berhubungan dengan kehendak untuk mendisiplinkan, menaklukan dan menjaga superioritas Barat. Menjadi rezim pengetahuan yang bekerja di balik kebijakan kolonial dan keuntungan ekonomi-politis dari padanya.
Selain itu, saya mau mengingatkan satu struktur mediatif yang bekerja diantara eksploitasi tuan kolonail kepada inlander.
Dalam pertempuran menegakkan superioritas, kendali ekonomi serta kontrol militer atas wilayah jajahan, rezim kolonial juga menciptakan yang disebut Marsoseatau Korps Marechaussee te Voetdalam bahasa Belanda yang mula-mula muncul dalam Perang Aceh (1890-1913). Mereka yang bukan bagian langsung (non-Barat) namun bekerja melayani kelestarian dominasi kekuasaan kolonial. Penyebutan lainnya adalah centeng, komprador, kaki tangan, atau proxy. Sekelompok kolonialis berkulit coklat, berkepala putih.
Eksistensi Marsose dalam politik kekinian tentu saja telah bergeser. Mereka bisa ada di dalam partai politik, pejabat militer, pejabat birokrasi hingga eksekutif-eksekutif NGO dan para akademisi. Eksistensinya sebagai Marsose zaman Now lebih abstrak, underground dan kompleks, tak lagi harus berperang dengan saudaranya sendiri lewat perang fisik.
Mereka adalah pribumi lahir batin juga. Atau Zen menyebutnya bagian Pribumi dengan P besar. Mereka ini patut diduga sebagai kelompok yang membuat perjuangan generas zaman sumbu pendek-paling benar sendiri lebih berat dibanding generasi zaman pergerakan, seperti peringatan Bung Karno dulu.
Di luar mereka ini, ada kelompok besar yang mewakili pribumi dengan hidup terus tertekan oleh pembangunan. Misalnya saja, ada masyarakat adat Amungme di lingkar konsesi Freeport yang suaranya tak terdengar di tengah ramai polemik divestasi saham perusahaan tambang yang telah mendapat ijin konsensi dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 1969.
Saya sendiri memiliki satu catatan tentang orang-orang kecil yang mengembangkan siasat untuk survive di tengah belantara Superblok Jakarta. Mereka adalah kelompok sosial-ekonomi yang bertahun-tahun lamanya mengikuti irama urbanisasi demi memperoleh remah-remah ekonomi metropolitan. Kehadirannya mewakili pribumi yang datang dari luar Jakarta, hidup dalam perkampungan padat, dan menggerakkan informalitas ekonomi . Anda boleh membacanya di Pasar Malam Ahok dan Secuil Narasi Orang Kecil.
Banyak daftar narasi perjuangan dan kekalahan pribumi di era ketika tuan-tuan kolonial sudah lama pulang. Ketika negara nasional dan elektoralisme bekerja menjaga siklus reproduksi elit di masa damai.
Sementara Anto Sangadji dalam artikel berjudul Kontradiksi Kapitalisme dan Rasisme menunjukan hubungan praktik kapitalisme zaman Now dan mengapa politik identitas bisa menemukan panggungnya di Jakarta, Sang Metropolitan.
Dengan mengutip laporan tentang segelintir orang-orang maha tajir di Indonesia, Anto Sangaji menggambarkan kondisi timpang dalam penguasaan kekayaan nasional. Kondisi timpang ini bukan semata buah dari kerja keras borjuasi namun dikarenakan struktur politik-ekonomi kroni yang memungkinkan mereka mengakses proyek-proyek atau konsesi-konsesi tertentu.
Di Jakarta, kapitalisme telah beratus tahun membangun struktur akumulasi dan peminggiran komunal. Rezim politik yang lahir dari elektoralisme hanyalah agen dari pertempuran borjuasi. Struktur ekonomi dan politik selalu sukses mereproduksi dirinya dalam pasang surut krisis.
Di luar inti kuasa yang berebut ini (negara = arena pertempuran borjuasi), ada kelompok yang menjual tenaga kerjanya kepala para pemilik modal dan kelompok yang hidup di luar irisan besar relasi eksploitasi langsung borjuasi-proletariat. Selain itu, ada jenis yang menghuni struktur mediatif dalam eksploitasi ini, yang menjadi menejer, mandor, atau jabatan-jabatan dengan lebih banyak kerja otak ketimbang fisik (kaum Kognitariat).
Ada kelompok "Lumpen-proletariat" yang tergolong Tenaga Kerja Cadangan (Reserve Army of Labour). Mereka eksis bersama informalitas ekonomi di perkotaan. Mereka merupakan kelompok yang rentan di depan krisis pun ekspansi kapitalisme. Jamak dari mereka hidup di Slum's Area. Mereka juga rentan diprovokasi dengan populisme nan rasistik. Demikian yang saya tangkap dari tulisan Anto Sangadji.
Dari sumber perspektif di atas, terlihat dua cara pandang yang dipakai.
Pertama, boleh disebut dengan Kritik atas Orientalisme, yang berasal dari gagasan Edward Said. Kritik Orientalisme berusaha menunjukan bagaimana cara pandang Barat memperlakukan Timur dalam kepentingan untuk menaklukan dan mendisiplinkan. Salah satu komponen penting dalam kritik ini adalah penedekatan Genealogi Ide. Yakni pendekatan yang melihat asal-usul sebuah konsep selalu memiliki dan terbentuk oleh relasi kuasa tertentu dan oleh kondisi-kondisi historis yang khas.
Sedang yang dikembangkan Anto Sangaji bersumber pada kritik ekonomi-politik Marxist. Yakni kritik terhadap sistem ekonomi kapitalisme sebagai kekuatan atau corak produksi utama yang memelihara kesenjangan ekonomi lewat eksploitasi kelas (borjuasi vs proletar) dan saat bersamaan mengembangkan pandangan-pandangan ideologis yang menyamarkan realitas eksploitasi tersebut alias perawatan Kesadaran Palsu.
Persoalan dalam pidato gubernur baru Jakarta, bagi saya, tidak menjelaskan apa yang dimaksud kolonialisme kekinian. Di luar rentetan peristiwa dan ketegangan selama pilgub DKI yang menjadi konteks terdekat dari pidato tersebut, kolonialisme yang di-updatepenting untuk menakar semungkin apa kehendak memberi arah baru Jakarta bisa dilegitimasi atau justru sebaliknya.
Persoalan (: retak konseptual) yang secara spesifik bisa dihadirkan lewat pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Apakah anti-kolonialisme dimaksud adalah panggilan bersama menghancurkan reproduksi cara pandang, watak politik-kultural, jaringan kelembagaan politik dan struktur ekonomi pemerintah kolonial di era paskakolonial?
Apakah anti-kolonialisme dimaksud adalah perlawanan resmi dan kolektif terhadap resep neoliberalisme yang mendorong praktik-praktik deregulasi dan percepatan infrastruktur dan promosi investasi dengan menciptakan "counter-policy" dan blok historis sebagai alternatif ideologi terhadap dominasi kapitalisme?
Lantas, pertanyaan mendasar lain adalah kelompok pribumi seperti apa yang dimaksud dalam konfigurasi di atas? Yang disimbolisasi lewat kutipan pepatah milik anak-anak suku Nusantara?
Dalam konsepsi New Social Movement-nya Laclau dan Moffe, entitas pribumi dimaksud adalah seluruh keberadaan multi-identitas yang menderita di bawah kekuasaan kapitalisme? Karena itu, identitasnya berupawajah, mulai dari informalitas ekonomi, nelayan miskin, gelandangan dan kriminal, pengojek dan supir angkot-metromini, gerakan gay dan lebianisme, pelacur dan pemulung, buruh dan karyawan rendahan, akademisi, aktivis lingkungan (enviromentalis) dan aktivis perempuan (feminisme) hingga kaum beragama?
Karena itu gubernur baru akan menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan mewujudnya "the Chains of Equivalent", semacam lingkungan pluralitas pengetahuan, kesetaraan dan kesamaan agenda perjuangan terhadap gurita kapitalisme dengan Pancasila sebagai common background-nya?
Tidakkah di era sekarang ini, di dalam hubungan pribumi dengan pribumi juga dirawat oleh praktik yang besar memangsa yang kecil? Paling kurang, bersikap apatis atau nyinyir terhadap yang sedang berusaha menjaga sumber-sumber penghidupannya dengan menghadang kebijakan pembangunan: saya marah karena angkutan online dibatasi sekaligus nyinyir melihat orang-orang tua yang setiap kamis berdemonstrasi di depan Istana Negara!
***
Pribumi bukanlah identitas tunggal yang diikat oleh trauma ketertindasan yang sama sementara struktur kolonialisme dimaksud tak jua terang tergambar sebagai penindasan kapitalisme, so, ini semua tentang apa?
Mungkin kita lupa jika gubernur baru Jakarta atau banyak gubernur sebelumnya atau para politisi, birokrat dan pejabat militer bukan selevel Evo Morales di Bolivia yang pencapaian kepemimpinan politiknya berakar dalam sejarah panjang perjuangan masyarakat adat cum petani. Sehingga agak susah kita melihat mereka sebagai juru bicara penderitaan pribumi. Semacam dilema presentasi vs representasi dalam usaha menyuarakan Subaltern: mayoritas rakyat kecil yang mengalami kemalangan dan penderitaan oleh sistem yang eksploitatif dalam kesenyapan.
Bahkan terlalu jauh dari kualifikasi Tan Malaka--maksud saya, kurangilah mengutip Bung Karno, wahai!-- seorang Muslim terpelajar yang hidup mengorganisir perlawanan dan dikejar-kejar intelijen kolonial hampir seumur hidup. Intelektual organik yang kesepian karena sikap istiqomah mewujudkan Indonesia Merdeka 100%.
Atau yang lebih pas, tulisan catatan kaki ini adalah deretan tanya yang mestinya tidak ditujukan kepada (sub)teks pidato yang habis dibaca dalam 20an menit.
Lagi pula, apa efektifitas menggugat strategi menyadur heroisme narasi masa lalu tanpa memberi gambaran ringkas situasi kekinian serta kompleksitas tantangan yang memang kegemaran politisi di depan panggung, massa, karangan bunga, baliho dan bendera-bendera serta sorot kamera?
Saya hanya bertanya dan sedang menyelamatkan diri sendiri. Gak usah sumbu pendek ah! Makan dulu, bobok, besok bangun pagi, terus ke Kompasianival.
Sip?
***
Sumber : Kompasiana.com
Post a Comment