"Jangan Lupa Bahagia", Gen Z, dan Spekulasinya

"Jangan Lupa Bahagia", Gen Z, dan Spekulasinya


Jangan Lupa Bahagia!
Anda yang memiliki masa kecil dengan perburuan ikan di selokan sesudah pulang sekolah atau menikmati jam-jam yang habis di depan cerita Nirmala dan tongkat ajaibnya mungkin risih dengan kalimat di atas. Apalagi Anda yang lahir sejak zaman perseteruan ideologi dan pertengkeran negara-negara imperial, mungkin merasa, hidup ini kok terlalu lama sehingga harus disuguhi keganjilan generasi. 
Slogan Jangan Lupa Bahagia mungkin telah tampil sebagai dramatisasi hidup yang remeh. Terlebih jika melihat ia ditampilkan lewat panggung banal social media, lewat status dan foto-foto setiap detik, serta viral-viral yang menyertainya. Seolah-olah saja, "orang-orang zaman Now" sedang menanggung hidup yang sedemikian sibuk, berat dan saling memangsa. Hidup di zaman sekarat!
Dasar mental Memble! Umpat seperti ini mungkin pernah Anda ucapkan. Hidup bergerak maju dan yang Anda sebut Gerombolan Memble itu yang akan menghidupinya. Bahkan, beberapa dari generasi Anda kini malah ikut-ikut termemblekan. 
Tahun 2015 kemarin, Cocacola, melansir satu hasil studi berjudul Why Generation Z is Choosing Happiness. Merek yang sudah berdiri sejak 1800an ini ingin mengetahui apa yang dimaknai sebagai kebahagiaan generasi kekinian dan yang membedakan dengan sebelumnya. Apa yang bisa dipelajari dan bagaimana masyarakat mendukungnya. 
Dikatakan dalam laporan tersebut, studi ini melibatkan 3.331 remaja (kisaran umur 15-19 tahun) di delapan pasar Eropa. Inggris, Irlandia, Perancis, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia serta Norwegia untuk melihat dari perspektif remaja. Kemudian ada diskusi panel antara perwakilan remaja yang berpengaruh dengan ahli.  
Apa yang mereka laporkan di sana?
72% remaja percaya bahwa kebahagiaan adalah pilihan, bukan kesempatan. 96% bahkan mengatakan jika mereka melakukan sesuatu di beberapa tahun terakhir untuk merasa bahagia. Menariknya, perburuan bahagia ini bukanlah sesuatu yang individual. 89% dari remaja-remaja itu setuju jika teman-teman mereka bahagia, perasaan yang sama akan dirasakan. Hal menarik lain, 83% dari remaja itu merasa hal yang berat dalam hidup mereka adalah membuat keputusan yang benar dimana 64% menyuarakan jika mereka butuh dukungan.
Informasi statistik lainnya adalah 87% dari remaja yang mewakili 8 pasar utama Eropa itu bersepakat jika memilih bahagia jauh lebih penting dari apapun yang dilakukan dalam hidup. Sumber utama kebahagiaan bagi mereka berasal dari pertemanan 51%, keluarga dan lingkungan terdekat 42% dan sisanya ada di sekolah. 
Bagaimana dengan uang? Hanya 2% yang bilang uang adalah segalanya. Kebahagiaan bagi mayoritas Generasi Z adalah tentang menghargai hal-hal kecil dalam hidupmu!
Bagaimana melihat statistik-statistik ini dalam terang penjelasan yang lebih besar? Silahkan dibaca sendiri laporan itu. Saya tidak akan banyak mengacu ke sana. Saya akan mengembangkan penjelasan spekulatif sendiri. Karena sumbernya terbatas maka jadikan saja semacam provokasi awal.
Our study shows that it's not money that drives teens today -- only 2% see finances as the most important element in life.6  They've learned from the mistakes of their parents' generation. New values sit higher on the teen agenda and happiness is at the centre (hal: 12)
Mereka telah belajar dari kesalahan generasi orang tuanya. Apa sih kesalahan generasi jaman dulu? Silahkan dirinci sendiri.
Yang saya curigai adalah kesalahan dimaksud berakar pada pemujaan terhadap kerja dan kesuksesan dengan nilai utama adalah akumulasi kekayaan. Saya sering menyebutnya ideologi sukses. Ideologi yang ditumbuhkan bersama perluasan kapitalisme.
Kerja yang pada mulanya semacam inner worldly asceticism dalam konsepsi sosiologi Max Weber di mana dengan kerja manusia mendisiplinkan segara hasrat rendah untuk mencapai kemampuan terbaiknya berangsur-angsur menjadi pertentangan budaya dalam masyarakat kapitalisme seperti direnungkan Daniel Bell. Keberlimpahan yang diperoleh oleh kerja melahirkan semacam stress sosial yang menemukan pelampiasan dalam gaya hidup hedon yang menyamarkan diri dalam judul High-Class Lifestyle.
Dampak lain dari kerja yang menjadi pemujaan kekayaan gila-gilaan adalah kurangnya waktu untuk menciptakan lingkungan internal kebahagiaan yang mandiri. Maksudnya adalah ketika keluarga disedot untuk bekerja di luar, tak jarang jauh, tangan-tangan lain dari masyarakat masuk terlalu jauh ke dalam rumah. Tangan-tangan yang bukan saja mengganti peran yang hilang tetapi juga membawa nilainya sendiri. 
Contohnya, ayah ibu sibuk berburu karir setiap hari sampai ke Eropa, pulang ke rumah, anak lelaki sudah mengeras sendiri isi kepalanya. 
Ini spekulasi pertama. 
Selanjutnya, jika statistik di atas bisa dirujuk--karena Cocacolasendiri berpesan: tidak menjamin--maka era yang disebut atomisasi sosial atau individualisme ekstrem buah disiplin Neoliberal itu akan diguncang lagi. Semacam pembalikan di mana ketika industrialisasi merambah Eropa, Durkheim melihat ada pergeseran dari model solidaritas mekanik ke solidaritas organik, kali ini yang organik mungkin akan diisi oleh mutasi-mutasi yang mekanik (ngomong apa sih?)
Solidaritas mekanik adalah ikatan sosial yang dirajut oleh hubungan darah dan hubungan dari satu wilayah yang sama. Yang organik dibentuk oleh kebutuhan-kebutuhan fungsional yang muncul karena spesialisasi dalam organisasi kerja sosial. Yang terakhir ini barangkali juga telah di batas yang terlalu instrumentalis: aku berhubungan denganmu untuk manfaat apa? Sehingga ada defisit emosional dalam hubungan manusia. 
Pernah mengalami situasi begini?
Spekulasi terakhir. Statistik hasil studi di atas mungkin salah satu potret kontekstual untuk melihat bagaimana the Power of Nudge-nyaThaler dan Sustein memiliki relevansi yang kuat. Ada dua hal. Pertama, apa yang disebut sebagai penciptaan daftar pilihan yang mendorong masyarakat memilih opsi-opsi keputusan paling tepat bagi hidup yang lebih baik lewat mekanisme Libertarian-PaternalismKedua, penciptaan lingkungan hidup yang tetap berakar pada kebebasan manusia untuk memilih menurut referensinya sendiri (the Architecture of Choice). 
Apa yang berlimpah dari digitalisme adalah timbunan informasi yang mendukung penguatan rasionalisasi keputusan. Apa yang muncul di instagram adalah hal-hal remeh yang menjelaskan bagaimana kamu bahagia. Tak ada lagi pertikaian rumit ideologi dan filosofis di sini. Kebahagiaan adalah hal yang praktikal, didefinisikan dan diperoleh dari pengalaman langsung dari tindakan dalam dunia sehari-hari. 
Itulah dunia di masa depan (??). 
Tapi jangan lekas merasa apa yang oleh kritikus budaya disebut gurita kekuatan mesin-mesin hasrat (desiring machine) dalam mengondisikan keputusan akan menemui mati. Refleksi dan gugatannya tetap akan menjadi semacam kompetitor ketika kebahagiaan mengalami defisit permenungan. Mungkin nanti akan ketemu arusbaliknya.   
Lantas apa yang semestinya dilakukan generasi sebelum Z? Anda perlu memeriksa lagi cara pandang yang dipegang teguh selama ini.
Selain itu, Jangan Lupa Merenungkan Bahagia!
***
Sumber : Kompasiana.com

Post a Comment

[blogger][disqus][facebook][spotim]

Unib Corner

{facebook#https://facebook.com/unib.corner} {twitter#https://twitter.com/unibcorner17} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCabAbOrEQXOngEET_6S1U7w?view_as=subscriber} {instagram#https://instagram.com/unibcorner}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Theme images by enjoynz. Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget