Sudah sejak terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, banyak kader internal partai yang kemudian memprotes atau bahkan menolak, karena kendali Golkar di tangan Setya hanya akan membungkam kekritisan Golkar terhadap pemerintah. Golkar, sepanjang dipimpin dua orang ketua sebelumnya, Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie, memperlihatkan sikap politiknya yang bisa dikatakan "netral" dan mampu membangun sikap kritis yang lebih bermartabat. Walaupun tipikal Golkar selama ini cenderung mendukung pemerintah, namun tak mengurangi sikap kritisnya, bahkan mampu membuat partai politik tertua ini tampak semakin solid. Keretakan internal Golkar saat terjadi dualisme kepempinan antara Aburizal dan Agung, tak membuat partai ini terpecah, karena kemudian Agung-pun menyatakan kesetiaannya atas kepemimpinan sah Aburizal.
Musyawah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar pada 2016 lalu, ternyata merubah haluan partai beringin ini, menunjukkan sikap politiknya yang terlampau oportunistik terhadap pemerintah. Keberadaan dua orang begawan Golkar---Jusuf Kalla dan Luhut---yang mewakili pemerintah di acara Munaslub (lihat, Republika.co.id, 21/11/2017), sedikit banyak memberikan pengaruh yang mampu "menekan" Golkar agar mengubah haluan politiknya, dengan memilih secara aklamasi Setya Novanto sebagai ketua umum partai.
Terpilihnya Setya, tentu saja bukan melanjutkan estafet kepolitikan dari kepemimpinan sebelumnya, namun lebih banyak memberikan kesan, Golkar mulai kehilangan sikap kritisnya dan mendukung penuh apapun kebijakan pemerintah. Bahkan, lebih jauh lagi, suara Golkar justru "diamankan" untuk perhelatan politik nasional 2019 yang tentu saja mendukung Joko Widodo sebagai presiden untuk dua periode.
Walaupun ditepis oleh kalangan elit pusat soal isu keretakan partainya, namun keberadaan Golkar jelas limbung, karena banyak yang "bertentangan" dalam soal pengambilan keputusan politiknya, terutama soal dukungan dan penolakan yang muncul dari kader internalnya sendiri. Dalam Pilgub Jawa Barat 2018, Golkar lebih memilih Ridwan Kamil dan berkoalisi dengan parpol lain, meninggalkan kader internalnya, Dedi Mulyadi yang justru memperoleh banyak dukungan dari kalangan akar rumput di Jabar. Belum lagi soal pendepakan beberapa elit pusat yang dianggap "mbalelo" terhadap kepemimpinan Setya kemudian digantikan oleh figur lain yang tentu saja lebih "akomodatif" pada setiap performa sang ketua umumnya. Kasus "pemecatan" Yorrys Raweyai dari jabatan ketua koordinator bidang polhukam merupakan bentuk "pembersihan" mereka yang dianggap "menentang" kepemimpinan Setya Novanto.
Lalu, sejak ketua umumnya terjerat kasus korupsi, Golkar nampaknya tak bergeming, tetap bersikukuh akan mempertahankan kepemimpinan Setya hingga masa berakhirnya pada 2019 mendatang. Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar, Mahyudin, mengklaim telah mengumpulkan seluruh pengurus partai baik pusat maupun daerah dan sepakat tetap mengusung Setya hingga akhir masa jabatannya. Mahyudin hanya mengisyaratkan, bahwa kemungkinan akan ditunjuk pelaksana tugas, dimana opsi ini akan mengangkat Sekjen Golkar, Idrus Marham menjadi pelaksana tugas ketua umum selama Setya berurusan dengan kasusnya (Koran Tempo, 20/11/2017).
Saya kira, sejak Setya menjadi ketua umum, citra Golkar sebagai parpol solid di tingkat akar rumput, malah semakin terpuruk, mempertontonkan kegaduhan yang tak kunjung mereda, terutama diakibatkan "pertentangan" internal elit-nya, yang berdampak luas terhadap konstituennya di tingkat akar rumput. Peristiwa ancaman kader Golkar Jabar yang beramai-ramai akan mengembalikan kartu keanggotaan mereka karena elit pusat tak kunjung merekomendasikan Dedi Mulyadi adalah satu diantara sekian gambaran keretakan internal Golkar yang cukup serius (lihat, Kompas.com, 26/10/2017). Persoalan ini---saya kira---tak bisa hanya diselesaikan sebatas retorika, yang lagi-lagi muncul klarifikasi yang dibahasakan oleh elitnya, bahwa Golkar tetap solid, baik di pusat maupun daerah.
Bagi saya, sikap pragmatisme Golkar yang keterlaluan, justru dalam banyak hal, seakan sedang menggali kuburnya sendiri, karena banyak kader-kader potensial yang matang berpolitik dan telah berhasil membesarkan nama Golkar malah tak pernah diperhitungkan, bahkan "dibuang" tanpa alasan yang jelas. Kasus Dedi Mulyadi dan Yorris Raweyai yang "didepak" dari lingkaran elit partai, bukannya soliditas yang didapat, malah Golkar harus bersiap kehilangan banyak pendukungnya.
Kader-kader yang justru bersikap kritis dan sukses mendongkrak pencitraan partai, malah dianggap "duri" yang menggerogoti kerugian internal partai. Belum lagi bencana politik akibat ulah Setya Novanto, yang semestinya momentum Golkar untuk mengembalikan marwah politiknya, malah keukeuh mempertahankan Setya, dengan dalih menunggu kepastian hukum yang tetap. Saya kira, sulit untuk bebas dari jerat hukuman korupsi, apalagi KPK jelas telah menahan Setya.
Golkar memang perlu bebenah, apalagi kasus korupsi yang menjerat ketua umumnya bukanlah perkara enteng, terlebih manuver aneh Setya yang selalu mangkir dari upaya jeratan hukum. Yang menggelikan, kasus Setya seolah-olah dibuat alur dramatik, dimana dirinya dipersepsikan sebagai "korban" atas ketidakadilan hukum. Publik tentu saja kesal dengan manuver Setya ini, dan hal itu berdampak terhadap citra partai beringin ini yang justru belakangan semakin terpuruk.
Mengembalikan citra positif Golkar ditengah kegaduhan akibat ulah Setya, saya kira merupakan momentum terbaik untuk mereposisi internal elit partai melalui Munaslub yang lebih fair dan bermartabat. Masih ada kesempatan yang bisa diraih Golkar mengembalikan kekuatan soliditas partainya, mempertajam sikap kritisnya, dengan tentu saja, mengocok ulang kepemimpinan partai melalui mekanisme internal yang bermartabat dan disepakati semua pihak.
Tak perlu lagi saya kira, sikap arogansi yang selalu ditonjolkan para elitnya hanya sekadar memburu kepentingan pragmatisme politik, seraya "membunuh" kader-kader potensial yang dapat memperkuat kembali sikap kritis Golkar dalam berpolitik. Beringin tentu saja pohon legendaris yang seharusnya tetap kokoh, dimana akarnya menghunjam ke bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke langit.
Gambaran lambang partai Golkar ini saya kira, memang bukan sekadar menjadi legenda hidup, tetapi dibuktikan oleh political will para elitnya, memelihara partai yang tak mudah goyah diterpa isu-isu sebesar apapun. Jika saat ini beringin sedang dilanda masalah, maka sudah sepatutnya para elit partai melakukan konsolidasi, mendengar seluruh aspirasi dan menuangkannya dalam sebuah kesepakatan bersama, demi soliditas partai yang belakangan kian melemah.
Sumber : Kompasiana.com
Post a Comment