"Menulis opini itu mudah, yang sulit itu menulis buku". Pernyataan itu meluncur begitu saja dari Hasudungan Sirait, salah satu mentor menulis dalam workshop yang diadakan BPS. Padahal sebelum masuk ke ruangan workshop, di kepala saya sudah menggumpal banyak pertanyaan, kenapa ya susah sekali menulis serius, ilmiah dan bergengsi seperti tulisan-tulisan opini yang nangkring di koran nasional? Bagaimana meraup ide brilian ditengah kesibukan kantor? Bagaimana menuangkannya, mengkaitkannya dan menulisnya dalam bahasa populer?
Dan tentu saja dahaga saya terhadap semua kendala tadi terjawab sudah. Selama tiga hari para mentor terbaik dibidang penulisan opini memberikan kami pembekalan yang sangat banyak. Merugilah peserta yang tidak menyimak, merem melek, hanya melongo dan tidak mencatat apapun yang keluar dari mulut para pembicara. Dalam sambutan yang disampaikan dengan gaya orasi yang memikat, M. Sairi Hasbullah Deputi Bidang Statistik Sosial BPS mendoktrin kami agar membuat catatan kecil semua petuah, tips dan trick para dedengkot yang sudah malang melintang di blantika dunia wartawan itu agar suatu saat bisa dibaca kembali. Beliau bahkan membagi pengalamannya, hingga cerita tentang tumpukan buku catatannya yang hampir mencapai setengah meter. Semuanya ditulis dengan rapih.
Lalu apa saja catatan yang telah saya buat?. Pertama, menulis itu harus punya passion yang kuat. Harus muncul sebuah keinginan atau semangat untuk mau memulai, berlatih, dan berani mengirimkannya ke koran-koran. Belajar dari pengalaman seorang Baharudin Lopa (mantan Meteri Hukum dan Perundang-undangan) yang ditolak hingga 70 kali sebelum Kompas mau memuat tulisannya. Bahkan tulisan seorang mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef harus ditolak untuk dimuat karena beliau menulis bukan dibidangnya. Demikian juga dengan salah satu guru besar Universitas Indonesia Sri Edi Swasono yang menulis tentang ujian nasional, padahal beliau adalah begawan ekonomi.
Kedua, bunuhlah anekdot bahwa menulis itu adalah bakat. Menulis itu adalah kemampuan terus menerus yang selalu diasah. Banyak orang hebat lahir karena tulisannya. Di dalam negeri sebut saja Sri Mulyani, Kwik Kian Gie dan Rizal Ramil. Tulisan Sri Mulyani, ditengah kesibukannya menjadi Meteri Keuangan masih sangat renyah untuk dinikmati. Bahkan ketika beliau menanggapi kegalauan seorang Tere Liye ketika menghadapi pajak yang dikenai kepada penulis, Sri Mulyani menulisnya dalam sebuah catatan yang tak kalah bertenaganya dibanding tulisan sang Tere.
Ketiga, menulis tidak ada hubungannya dengan nilai akademik seseorang. Dengan suara melengking Sairi menyampaikan kritiknya. "BPS itu menjadi sumpek, karena mengukur kemampuan seseorang dari nilai matematikanya saja". Apa hubungannya matematika dengan leadership dan skill komunikasi?. Lebih lanjut Sairi berujar, omong kosong kalau seorang menjadi juara pelatihan Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tapi dia tidak bisa menulis, buat apa?. Ketika BPS diserang orang karena datanya diragukan, metodenya disalahkan, petugasnya dianggap melacur, kemana mereka yang tadinya mengaku orang pandai itu?. Hanya segelintir orang BPS saja yang berjibaku menjelaskan dengan tulisannya di media masa. Jangan tiarap dong!, jangan seperti katak di bawah tempurung! ujarnya tegas.
Kita harus belajar dari Lipi. Siapa yang tidak gentar menghadapi orang-orang Lipi?. Ketika lembaga tersebut diragukan kredibilitasnya, mereka menjawab dengan puluhan tulisan yang tersebar di bermacam media. Dulu orang tidak mengenal yang namanya Gde Prama, Siti Zuhro bahkan Indria Samego. Tapi ketika tulisannya merambah koran nasional, tak lama kemudian wajahnya mulai akrab di mata masyarakat, karena sering muncul di TV. Menulis membuatnya terkenal.
Sebagai penutup bang Kenedi Nurhan Redaktur Senior Kompas menutup dengan sebuah perbandingan antara Ronaldo dan Messi. Kedua pesohor sepakbola ini bisa dijadikan acuan bahwa bakat itu bisa dikalahkan oleh sebuah kerja keras. Leonel Messi memang berbakat tapi kerja keras seorang Ronaldo telah mengalahkan bakat besar yang dimiliki Messi. Jumlah gelar terbaik pemain dunia yang dimiliki Ronaldo lebih banyak dibanding Messi. Masihkah kita menyalahkan bakat untuk kemalasan kita dalam menulis?
19/10/2017
#tulisanEO
#tulisanEO
Sumber : Kompasiana.com
Post a Comment