Benda yang dianggap sebagai telepon pintar ini memang begitu memikat semua orang. Tidak hanya orang dewasa saja, remaja, anak-anak dan bahkan balitapun sangat menyukai benda ini. Karena hanya dengan sekali sentuh, apapun yang kita inginkan akan tersaji dengan mudah di hadapan kita. Musik, film, games, makanan, pakaian, alat rumah tangga, alat kecantikan dan masih banyak lagi, semua tinggal pilih sesuai selera.
Sering dijumpai pada setiap tempat dan waktu, hampir semua orang sibuk dengan smartphone masing-masing. Secara penampakan umum, terlihat kerumunan atau sekumpulan orang, akan tetapi tidak ada komunikasi satu sama lain. Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Dunia maya, kebanyakan orang menyebutnya. Dan sepertinya dunia baru tersebut, sudah benar-benar "berhasil" merebut eksistensi dunia nyata. Bagaimana tidak, mereka berkumpul bersama dalam satu tempat dan dalam beberapa waktu yang bersamaan. Yang diajak bicara, tersenyum dan tertawa justru orang yang ada dalam genggaman tangan, yang belum pasti orang yang sebenarnya ada dan nyata.
Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan bahwa pada tahun 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa lama kita mau berpisah dengan smartphone? Mampukah kita atau anak-anak kita berpisah dalam hitungan hari ? Atau dalam hitungan jam ? Atau bahkan tidak mampu berpisah dalam hitungan menit atau detik? Dan faktanya adalah kita tidak bisa terpisah dengannya.
Jika memang demikian, itu adalah tanda bahwa kita semua sudah kecanduan smartphone. Tidak tekecuali anak-anak. Anak-anak bahkan betah seharian bermain game atau hanya sekedar nonton film.
"Digital dementia" adalah istilah yang dilontarkan oleh dr. Manfred Spitzer, seorang ahli syaraf yang ada di Jerman , yang menulis buku pada tahun 2012 dengan judul "Digital Demenz". Istilah yang menggambarkan suatu kondisi adanya penurunan kemampuan kognitif seseorang yang biasanya banyak terjadi pada orang-orang yang mengalami cedera kepala atau gangguan kejiwaan.
Dr. Spitzer menyampaikan tentang bahaya gadget bagi anak-anak. Dia juga mengingatkan bahwa deficit atau kegagalan dalam perkembangan otak bersifat permanen. Bahkan, meminta kepada pemerintah Jerman untuk menetapkan larangan penggunaan media digital dalam pengajaran anak-anak di sekolah.
Pada penderita digital dementia, otak seseorang mengalami gangguan fungsi dalam memori jangka pendek, hal ini merupakan akibat kecanduan gadget dan barang elektronik lainnya. Kecanduan ini membuat penderitanya tidak mampu lagi mengingat hal-hal detil dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengingat nomor ponsel pribadi. Seperti yang dilansir JoongAng Daily.
Byun Gi-Won, seorang dokter yang bekerja di Balance Brain Centre Seoul, menyatakan bahwa penggunaan smartphone dan alat permainan game yang berlebihan bisa mengganggu keseimbangan perkembangan otak. Penggunaan berlebihan cenderung hanya mengembangkan otak bagian kiri, sehingga otak kanan tidak tersentuh dan tidak berkembang.
Otak kanan manusia berhubungan dengan kemampuan otak untuk konsentrasi, penyimpanan memori dan pengaturan emosi. Maka, apabila otak kanan mengalami gangguan dalam proses perkembangannya dapat mempengaruhi perhatian, daya ingat dan juga gangguan emosi. Dimana sebanyak 15 % kasus dapat menyebabkan terjadinya dementia pada usia dini.
Dari hasil penelitian di Korea Selatan menunjukkan bahwa 67% warga Korsel yang memiliki smartphone, dan ironisnya 64% pemilik smartphoneadalah remaja. Angka ini melonjak tajam dari 21,4% pada 2011, menurut data Kementerian Ilmu, ICT dan Perencanaan Masa Depan Korsel. Kondisi ini semakin memburuk karena jumlah anak usia antara 10-19 tahun yang menggunakan smartphonelebih dari 7 jam sehari meningkat menjadi 18,4%.
Mereka yang sudah mengalami kecanduan dilaporkan menderita keterbelakangan dalam perkembangan emosi. Anak-anak lebih beresiko lebih besar mengalami gangguan otak ini dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan otak anak-anak masih dalam proses pertumbuhan.
Jika anak-anak kita sudah menunjukkan gejala kecanduan gadget, alangkah lebih bijak jika kita sebagai orang tua segera mencegah terjadinya penyakit "digital dementia". Kita bisa mulai dari sekarang, ya, sekarang ! jangan ditunda lagi.
Perlu diingat bahwa otak sebagaimana layaknya otot, jika tidak digunakan maka akan mengalami atropi atau bisa dikatakan mengalami penyusutan ukuran.
Jadi pilihan ada di tangan kita, membiarkan anak-anak dikontrol oleh gadget atau kehilangan mereka.
Salam sehat,
Sumber :
Alzheimer.net
Kompas.com
Koreatimes.co.kr/
Dailymail.co.uk
Post a Comment