Apa yang anda bayangkan ketika mendengar kata "AI" atau Artificial Intelligence? Bagi saya yang hobi nonton film, secara otomatis saya akan membayangkan sebuah robot Terminator atau robot favorit saya, Doraemon. Namun AI adalah suatu terminologi yang memiliki konsep sangat luas. Nah, untuk memudahkan berbincang-bincang lebih dalam tentang AI, ada baiknya kita mengenal perbedaan antara tiga spesies Artificial Intelligence (AI).
Pengkategorian ini sebenarnya masih bervariasi dikalangan ahli. Namun umumnya dibedakan menjadi tiga, yaitu Artificial Narrow Intelligence(ANI), Artificial General Intelligence(AGI) dan Artificial Super Intelligence(ASI). Mari kita panggil mereka satu-persatu: ANI, AGI dan ASI.
AI Yang Telah Lahir
Pertama, kita harus membedakan antara AI versi science fiction dan AI yang saat ini dikembangkan untuk menggantikan (baca: memudahkan) pekerjaan manusia. Kita tentu sudah banyak berinteraksi dengan mereka di kehidupan sehari-hari. Mulai dari mesin ATM, Gardu Tol Otomatis, asisten virtual seperti Siri, atau ketika melihat iklan-iklan di website yang agak seram seperti ada seseorang yang bisa menebak wishlist kita. Nah, mereka semua adalah ANI.
Para ahli memberikan ANI istilah Weak AI atau Narrow AI karena kecerdasannya terbatas pada lingkup pekerjaan dengan berbagai spesialisasinya. Walaupun spesies ini weak (lemah), kemampuan mereka tidak bisa diremehkan. IBM mengembangkan ANI, yang diberi nama Deep Blue, dengan keahlian bermain catur. Dan ia berhasil mengalahkan grandmaster catur dunia, Garry Kasparov, pada tahun 1997 [1]. Kalau tertarik, tonton film dokumenternya The Man vs The Machine (2014).
Walaupun ANI berhasil menaklukkan manusia dalam berpikir strategis seperti catur, pada dasarnya ANI belum dapat menyamai kemampuan manusia bila melibatkan semua keahlian secara keseluruhan. ANI hanya dapat melakukan pekerjaan yang sudah diprogram untuk melakukan suatu aktivitas tertentu.
Bisa Belajar Dari Kesalahan
Kita, manusia, belajar dari kesalahan. Saat masih kecil kita berlatih untuk berjalan. Kadang kita terjatuh namun bisa bangkit lagi. Saat pertama kali bermain sepak bola kita terjungkal ketika menendang bola. Belajar dari kesalahan tersebut, akhirnya kita berhasil menendang bola masuk ke gawang.
Begitu juga dengan AlphaGo, ANI yang dikembangkan oleh Google DeepMind untuk bermain catur igo. AlphaGo dilatih untuk bermain catur igo dengan pemain-pemain tangguh. Yang pada akhirnya, ia dapat mengalahkan pemain catur igo terbaik dunia, Lee Sedol pada tahun 2016 lalu [2]. AlphaGo telah diprogram agar ia bisa belajar dari kesalahannya. Ini adalah salah satu pencapaian besar di dunia AI. Tidak seperti Deep Blue yang hanya mengerjakan hal spesifik seperti catur, AlphaGo punya potensi melakukan hal yang bersifat umum karena kemampuan belajarnya dari pengalaman. Ini akan membuka peluang generasi berikutnya yaitu spesies AGI.
AI Masa Depan
Berbicara tentang AI masa depan, para ahli memberikan istilah strong AI. AGI adalah spesies AI yang kecerdasannya setara dengan manusia. Ia bisa melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh, AGI bisa membuat kopi sendiri, bekerja di suatu perusahaan, bahkan hang out bersama teman-temannya. Saya membayangkan AGI seperti Doraemon. Ia mempunyai karakter seperti halnya manusia. Bisa diajak bermain dan menolong orang lain. Ia juga punya kue kesukaanya (Dorayaki) dan punya fobia tikus.
Generasi berikutnya adalah spesies ASI yang kemampuannya lebih superior dari manusia. Seandainya diselenggarakan perlombaan tingkat dunia, ASI akan menjadi juara di semua bidang sekaligus. Saya membayangkan seperti tokoh HAL 9000 di film 2001: A Space Odyssey. Atau Skynet di film seri Terminator. Secara umum ASI adalah spesies yang paling ditakuti bila mereka benar-benar menjadi kenyataan. Karena ia dapat mengancam manusia dan saking pintarnya, mungkin tak bisa dihentikan. Tapi jangan salah, ASI mungkin saja punya dimensi moral yang lebih bijak dari manusia. Wah, bukannya Tuhan ikut senang?
Pengembangan dan Tantangan
Perlu diingat bahwa robot tidak sama dengan AI. Robot sama halnya dengan tubuh manusia. Sedangkan AI adalah otak yang mengendalikan robot tersebut. Sehingga pada dasarnya, pengembangan AI adalah bagaimana meng"copy paste" otak manusia. Dan pemahaman tentang otak manusia diperlukan untuk memodelkan bagaimana AI bekerja.
Sebagai contoh, algoritma yang disematkan pada AI mensimulasikan bagaimana manusia menggunakan logika berpikir. Setingkat diatas logika, manusia memiliki intuisi atau "gut feeling" dalam mengambil keputusan. Intusi ini menjadi peranan penting ketika memutuskan sesuatu hal saat informasi yang dibutuhkan tidak lengkap. Atau justru terlalu banyak hingga tidak selesai-selesai jika dipikirkan. AlphaGo telah membuka jalan agar AI memiliki intuisi [3].
Hingga saat ini masih banyak sekali tantangan untuk membuat AGI. Baik dari sisi teknologi hardware maupun softwarenya. Namun saya akan membahas mengenai topik khusus yang menjadi problematika utama. Yaitu bagaimana AI dapat memiliki kemampuan mental yang dibutuhkan untuk memahami lingkungan dan perilaku manusia. Sehingga ia dapat berinteraksi secara sosial. Seperti Doraemon.
Sekilas Theory of Mind
Apa itu Theory of Mind(ToM)? Untuk memberikan gambaran, mari simak cerita berikut.
Seorang anak baru saja mencuri barang di sebuah toko. Kemudian ia cepat-cepat pergi meninggalkan toko itu. Ketika sedang berjalan menuju rumahnya, seorang polisi melihat anak tersebut menjatuhkan dompetnya secara tidak sengaja. Sang polisi tidak tahu bahwa anak tersebut telah mencuri. Kemudian memanggilnya untuk memberitahu bahwa dompetnya terjatuh. Ketika anak itu menoleh ke belakang dan melihat pak polisi, dia mengangkat kedua tangannya dan mengaku bahwa baru saja dia mencuri di sebuah toko.
Pertanyaan: mengapa anak tersebut bertingkah seperti itu?
Untuk menjawabnya tentu mudah, kan? Kecuali bila seseorang memiliki penyakit mental, seperti autisme. Pada prinsipnya, jika kita tidak bisa memposisikan diri kita pada sudut pandang anak tersebut, mustahil bisa menjawabnya. Karena hal ini membutuhkan dimensi kemampuan kognitif yang lebih dari sekedar problem solving, intuisi atau berbagai macam komputasi yang kompleks.
Mengapa manusia menggunakan kata "aku"? Manusia memiliki pemahaman bahwa "aku" adalah subjek yang berbeda dengan orang lain. Juga mengerti bahwa: dia diperhatikan oleh seseorang yang juga sadar akan kehadirannya. Ini membuat manusia dapat memahami keinginan orang lain dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sehingga manusia dapat bersosialisasi dan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Hal tersebut utamanya melibatkan disiplin ilmu seperti developmental psychologyatau cognitive science. Tanpa ToM, AI akan menjadi robot yang autis.
Misteri Consciousness
Jika masalah ToM pada AI dapat terpecahkan, maka robot yang dibuat bisa saja bersosialisasi layaknya manusia. Namun satu hal lagi yang menjadi tantangan pengembangan AI di masa depan. Yaitu misteri consciousness[4]. Aplikasi pada AI, mudahnya dapat dibayangkan dengan pertanyaan: apakah robot tersebut benar-benar dapat merasakan sakit?
Kita bukan cuma sekedar membuat program sehingga robot tersebut bisa berekspresi kesakitan. Tetapi benar-benar merasakan sakit atau senang seperti manusia. Hal ini terkait erat apakah AI memiliki motivasi sendiri diluar apa yang telah diprogramkan oleh manusia. Bayangkan jika anda sama sekali tidak merasakan sedih atau bahagia. Bisakah anda memiliki motivasi untuk melakukan segala sesuatunya sehari-hari?
Motivasi dalam kegiatan kita sehari-hari dilatarbelakangi karena kita ingin merasa senang atau bahagia dan menghindari sakit atau sedih. Jika tidak bisa merasakannya, maka sama saja dengan zombie. Tanpa consciousness, AI hanya bisa menjadi robot zombi.
Lewat film yang baru-baru ini dirilis Ghost in the Shell (2017) atau versi originalnya, mungkin anda bisa menilik tentang consciousnessdan apa yang dimaksud dengan "ghost" itu sendiri. Tapi sebaiknya tidak ada spoiler disini. Dan, tentunya hingga saat ini masih menjadi misteri bagaimana consciousness dapat terlahir dari sesuatu yang bersifat fisik, seperti otak manusia atau AI itu sendiri.
Kawan atau Lawan?
Ray Kurzweil memprediksi bahwa AGI akan lahir pada tahun 2029 yang kemudian disusul ASI pada tahun 2045 [5]. Walaupun saya agak ragu dengan prediksi Ray Kurzweil, saya tidak memungkiri bahwa AGI dan ASI akan menjadi realita. Karena hal yang dulunya fiksi sekarang telah menjadi realita. Jadi rasanya kita perlu bersiap-siap mengenal dampak secara luasnya.
ANI, yang saat ini menjadi fokus pengembangan untuk dunia bisnis, menjadi tantangan masalah pengangguran di masa depan. Beberapa negara saat ini sedang membahas alternatif solusi seperti ide Universal Basic Incomedan sudah dilakukan beberapa uji coba. Di Indonesia, yang lebih familiar dengan Jaminan Pendapatan Dasar, nampaknya masih belum populer. Karena saat ini kita sedang sibuk dengan kisruh politik identitas dan populisme.
Lalu, tidak hanya potensi pengangguran. Permasalahan etika seperti kegagalan teknis yang dapat mencederai manusia juga menjadi perhatian. Seandainya ANI melanggar hukum, siapa yang bertanggung jawab? Pembuatnya atau Pemakainya?
Sedangkan AGI dan ASI, yang menjadi fokus ilmuwan dan kepentingan strategis negara, menghadapi permasalahan serius, khususnya ASI. Elon Musk dan Stephen Hawking sudah mengekspresikan ketakutan ASI di masa depan. Suvey pendapat para ahli mengenai dampak ASI terhadap manusia secara jangka panjang adalah: 24% sangat baik; 28% baik; 17% netral; 13% buruk; dan 18% sangat buruk [6]. Sangat buruk artinya bencana pada umat manusia persis seperti film atau cerita fiksi distopia.
Itu pendapat para ahli, bagaimana menurut pendapat anda?
Refleksi Singkat
Jadi kita sudah membahas secara umum tentang ANI, AGI, ASI dan dampaknya. Sikap kita bukanlah menjadi orang yang anti-AI. Namun bagaimana kita menyikapi masalah etika dan moral yang akan timbul. AI sama halnya dengan teknologi nuklir. Kita bisa menjadikannya senjata pemusnah massal atau menghidupi manusia dengan energi yang berlimpah. Teknologi bukan penentu nasib manusia. Teknologi hanyalah alat. Manusia yang menenentukan nasibnya sendiri.
-adiantra
Sumber : Kompasiana.com
Post a Comment